Dalam falsafah jawa disebutkan
"Ngelmu iku kalakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas
nyantosani setya budi pangekese dur angkara", jika diartikan secara
bebas Ilmu itu bisa dipahami/ dikuasai harus dengan cara, cara pencapaiannya
dengan cara KAS, artinya KAS berusaha keras yang memperkokoh karakter, kokohnya
budi ( karakter ) akan menjauhkan diri dari watak angkara.
Falsafah ini mengingatkan
kepada kita bahwa menjadi manusia pembelajar memang menuntut usaha keras yang
tidak instant agar membuahkan kokohnya budi yang menjauhkan kita dari angkara.
Belakangan banyak bermunculan orang-orang yang mengaku dirinya alim
(berilmu), bahkan merasa saking alimnya mereka gampang menyalahkan orang
yang sejatinya justru lebih alim darinya. Kecenderungan orang seperti ini
biasanya memetik ilmu di jalanan yang didapatkan secara instant tanpa melalui
guru dan sanad keilmuan yang otoritatif. Mereka mendapatkan ilmi tanpa melalui
persentuhannya dengan proses belajar yang matang. Akibatnya, tidak kokoh
budinya dan akhirnya terjerambab pada sikap kesombongan nan angkara.
Pembelajar yang sejati tidak
pernah merasa cukup dengan apa yang sudah dimilikinya. Kedahagaan akan ilmu
justru akan terus dirasakan sepanjang hidupnya. Kecenderungan orang seperti ini
jus6tru akan terus merasakan jauh dari kesempurnaan ilmu yang dimilikinya,
karena merasa jauh dari kesempurnaan tentu menjadikannya sebagai insan yang
senantiasa tawadhu, rendah diri dan tidak sombong. Proses yang lama dan
susah payah di dalam menuntut ilmu juga menjadikannya sebagai pribadi yang
menaruh penghormatan yang tinggi terhadap paraahli ilmu. Bahkan ia rela
mengabdikan dirinya untuk para ahli ilmu.
Imam Syafi'i pernah mengatakan
"jika kau tak kuat menahan lelahnya menuntut ilmu maka bersiaplah menelan
pahitnya kebodohan seumur hidup" lelahnya menuntut ilmu tidak sebanding
dengan pahitnya kebodohan seumur hidup. Karena kebodohan sama halnya
mendegradasi martabat manusia yang sesungguhnya, menusia ditakdirkan oleh Allah
Swt sebagai mahluk yang akan mengemban tugas kekhalifahan di bumi yang tentu
meniscayakan adanya pemanfaatan potensi dirinya untuk kepentingan bersama. Oleh
karena itu marilah persiapkan anak anak kita menjadi manusia pembelajar seumur
hidup yang kelak akan menebarkan manfaat dan mengemban tugas kekhalifahan untuk
kepentingan dan kemaslahatan bersama.
Membangun peradaban dimulai
dengan membangun manusia, membangun menusia adalah dengan pendidikan.
Pendidikan merupakan senjata yang paling mematikan di dunia karena dengannya
kita akan mampu mengubah dunia, "education is the most powerful weapon
which you can use to change the world", seperti yang pernah diungkapkan
Nelson Mandela.
Pendidikan semestinya menjadi
obor yang membantu manusia menapaki jalan kehidupannya, sehingga baginya, dunia
adalah tempat untu menuangkan kreatifitas, pengetahuan yang dimiliki dijadikan
alat untuk memecahkan solusi. Kendati demikian, kenyataannya tak jarang ilmu
pengetahuan juga dapat membawa pada petaka bagi kehidupan manusia. Di sinilah
ilmu pengetahuan memerlukan pemandu yang dapat memandu agar tetap barada pada
bingkai nilai etis dan moral, sehingga pengetahuan yang dimiliki manusia
tidak dijadikan alat untuk merusak tatanan kehidupan manusia. Di sinilah
pentingnya agama sebagai pemandu ilmu pengetahuan. Albert Einstein mengatakan
"ilmu tanpa agama adalah buta, agama tanpa ilmu adalah lumpuh"
Derap langkah kemajuan dan
perkembangan teknologi tentu tidak terlepas dari tangan ilmu pengetahuan. Namun
kehadirannya perlu dibingkai dengan nilai etis dan moral agar tidak menimbulkan
petaka kehidupan. Di sinilah pentingnya membekali anak-anak kita dengan
pendidikan yang menanamkan kecerdasan intelektual sekaligus spiritual. Keduanya
tidak boleh saling mengabaikan, karena pengetahuan akan menjadi obor kehidupan
sedangkan agama akan menjadi pemandu kehidupan. Peradaban yang dibangun oleh
manusia yang seperti ini tentu akan jauh dari petaka kehidupan.
Fathudin Kalimas
Disampaikan dalam rangka Peringatan Hari
Santri 22 Oktober 2017