Kalimas Bhakti Negeri

Kalimas Bhakti Negeri merupakan lembaga nirlaba yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, keagamaan dan kemanusiaan. Lembaga ini berdiri atas prakarsa komunitas anak-anak muda desa Kalimas yang memiliki semangat volunterism tinggi sebagai wujud ikhtiar kecil untuk negerinya. Pengertian kecil bukan berarti tanpa mimpi yang besar, kecil diartikan bahwa lembaga ini berangkat dari sebuah gerakan sekecil apapun tetapi bermakna dan bermanfaat bagi masyarakat. Kehadiran Kalimas Bhakti Negeri sebagai bentuk respon anak muda Kalimas terhadap situasi dan kondisi masyarakat desa di tengah derasnya arus perubahan zaman dan tantangan globalisasi. Gerakan ini mengupaya terawatnya modal sosial dan luhurnya nilai-nilai budaya bangsa yang tetap terjaga dan terwariskan pada generasi berikutnya dalam rangka membangun masyarakat yang kokoh berkepribadian ke Indonesiaan .

Pendidikan dan Keagamaan; Agenda Mencerdaskan Ummat

Faktor penentu kemajuan  masyarakat dan bangsa adalah tersedianya Sumber Daya Manusia yang tidak hanya cerdas, kreatif dan inovatif di dalam mengelola modal sosial dan sumber daya alam yang tersedia, namun juga harus tercerahkan dengan penanaman nilai-nilai spiritual keagamaan sebagai modal terwujudnya manusia-manusia yang amanah dan memiliki tanggung jawab moral yang tinggi. Degradasi moral dan penyimpangan perilaku generasi muda menjadi tantangan bersama untuk mengembalikannya pada habitat dan lingkungan yang semestinya. Yakni, lingkungan yang tercerdaskan melalui pendidikan dan tercerahkan melalui penanaman spiritual keagamaan. Agenda ini tidak hanya fokus pada anak usia dini dan remaja, tetapi juga perlu menyentuh generasi tua yang masih menyadari akan pentingnya pengetahuan. Kondisi ini mendasari lahirnya gerakan Kalimas Bhakti Negeri dengan menginisiasi pendirian Majelis Ta’lim dan TPA  al-Ukhuwah “Qoma".

Majelis Ta’lim dan TPA al-Ukhuwah “Qoma”

Adalah Majelis Ta’lim al-Ukhuwah “Qoma” sebagai salah satu ikhtiar Kalimas Bhakti Negeri menyajikan pendidikan keagamaan untuk masyarakat Kalimas. Nama “al-Ukhuwah Qoma” memiliki makna filosofis yang  kuat yang mencerminkan harapan dan cita-cita para pendirinya. Kata al-Ukhuwah diartikan sebagai persatuan, dengan harapan keberadaan majelis taklim ini dapat menjadi sarana untuk merekatkan ikatan sosial, memperluas ruang-ruang pertemuan kewargaan  melalui kegiatan pengajian dan pendidikan keagamaan. Sedangkan Qoma diartikan berdiri kokoh, dengan harapan bahwa majelis ta'lim ini akan terus terjaga eksistensinya di masyarakat sebagai salah satu ikhtiar pengabdian terhadap bangsa dan negara dalam turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjaga tradisi keagamaan ahlus sunnah wal jamaah.


Fenomena krisis moral yang terjadi menjadikan pendidikan agama sebagai salah satu solusi terbaik untuk menyelamatkan karakter tunas bangsa. Pendidikan keagamaan dan akhlak seyogyanya dapat dimulai sejak usia dini. Pendidikan keagamaan yang diperuntukan anak usia dini dapat dilakukan secara informal melalui keluarga maupun lingkungan sosial masyarakat, termasuk di dalamnya melalui Taman Pendidikan Al-Quran (TPA/TPQ). Taman Pendidikan Al-Qur’an merupakan lembaga/sarana pendidikan al-Qur’an dan pembinaan akhlak yang dirasa cukup penting terutama dalam membekali anak-anak usia dini sebagai generasi ummat agar mampu membaca al-Qur’an secara baik. Keberadaan TPA al-Ukhuwah Qoma mempunyai peran utama dalam mengajarkan kemampuan membaca dan menulis Al-Qur’an dan beberapa pengetahuan dasar agama lainnya seperti tentang ibadah, akidah, dan akhlak. Keberadaan TPA ini bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi pribadi yang Qur’ani dan menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman dalam hidupnya.

Mengawal dan Merawat Tradisi untuk Peradaban Desa
Bangsa Indonesia pada hakikatnya dibangun dalam fondasi masyarakat pedesaan. Bahkan secara kultural, Indonesia merupakan negeri yang dibentuk dengan nuansa pedesaan yang cukup kental. Desa, di samping dimaknasi sebagai entitas fisik, sebagai satuan geografis-administratif yang memberi batasan pada masyarakatnya yang jauh dari kota, desa juga dapat dimaknai sebagai entitas sosial di mana desa merupakan entitas yang menaungi tradisi masyarakat, hubungan sosial yang rekat, serta nuansa yang terikat penuh dengan alam. Desa juga menjadi sebuah manifestasi kultural, di mana semua entitas hidup secara rukun dan guyub, modal sosial terjaga, tradisi dipertahankan. Oleh karena itu desa menawarkan skema kemajuan dalam soal-soal sosial, walau terpinggirkan secara material. Pada konteks ini desa pun dapat disebut sebagai lokus peradaban yang memiliki kelebihan tertentu dalam hal solidaritas masyarakatnya.

Masuknya globalisasi masuk ke Indonesia dengan segenap tawaran tata budaya barunya, sebuah proses kultural telah dihadapi oleh desa baik secara ekonomi, politik, budaya, maupun sosial. Keberadaan desa dihadapkan pada tantangan-tantangan besar untuk merespons globalisasi, sehingga wajar muncul pertanyaan akankah desa siap menghadapi budaya baru yang dihasilkan keniscayaan globalisasi. Kondisi dan situasi tersebut perlu kiranya untuk dipikirkan mengingat terkadang globalisasi yang masuk ditangkap secara kurang tepat oleh generasi muda sehingga kultur pedesaan dalam konteks modal sosial kurang terjaga. Jika tesis masa lalu menyebutkan bahwa kuatnya pertumbuhan ekonomi nasional diasumsikan akan menjawab perkembangan kesejahteraan lokal melalui proses trickledown effect. Tesis tersebut pada kenyataannya gagal menjelaskan perkembangan masyarakat desa, di mana kuatnya pusat justru melakukan apropriasi atau pengambilalihan peran lokal (desa) oleh pusat. Paradigma tersebut sejatinya harus ditinggalkan karena kondisi telah menuntut sebaliknya di mana kuatnya pertumbuhan dan perkembangan lokal (desa) akan menjadi ciri dan indikasi pertumbuhan dan perkembangan nasional.

Upaya mengawal dan merawat modal sosial masyarakat desa menjadi konsen lembaga ini. Tradisi gotong royong, tolong-menolong, guyub-rukun, tepo-saliro merupakan modal sosial yang harus dipertahankan. Oleh karena itu, lembaga ini memiliki perhatian khusus pada bidang sosial dan kemanusiaan sebagai bentuk respon terhadap gejala transformasi masyarakat desa yang kian menampilkan mentalitas urban perkotaan yang kerap mengubah wajah dan karakteristik masyarakat desa. Sensitivitas terhadap kehidupan sesama melalui agenda-agenda filantropi (kedermawanan) untuk membantu masyarakat yang lemah menjadi bagian dari agenda utama lembaga ini dengan harapan dapat membangun martabat kemanusiaan dan peradaban masyarakat desa pada umumnya.