KH Muslim Rifai Imampuro atau yang akrab dipanggil Mbah Liem
tergolong kiai yang bersahaja, nyentrik, sering berpenampilan nyleneh,
misal dalam menghadiri beberapa acara. Saat memyampaikan pidatonya di
muka umum sering berpakaian ala tentara, memakai topi berdasi bersepatu
tentara tapi sarungan.
Bahkan pada saat
prosesi upacara pemakaman Mbah Liem pun juga tergolong tidak seperti
umumnya, saat jenazah dipikul dari rumah duka menuju makam di Joglo
Perdamaian Umat Manusia sedunia di komplek pesantren diarak dengan
tabuhan hadroh “sholawat Thola’al Badrun alainaa” proses pemakamanya
seperti Tentara menggunakan tembakan salto yang dipimpin langsung oleh
TNI/Polri hal ini dilaksanakan sesuai wasiatnya.
Mbah
Liem seolah menutupi indentitasnya bahkan hingga kini putra-purtinya
tidak mengetahui persis tanggal lahirnya. Salah satu putra Mbah Liem
yang bernama Gus Muh mengatakan Mbah Liem lahir pada tanggal 24 April
1924 namun begitu Gus Muh sendiri belum begitu yakin. Soal identitas
Mbah Liem hanya sering mengatakan kalau beliau dulu adalah bertugas
sebagai Penjaga Rel kereta Api. Tentang silsilah pada akhir akhir
hayatnya menurut informasi dari Gus Jazuli putra menantunya bahwa Mbah
Lim pernah menulis di kertas bahwa ia masih keturunan keraton
Surakarta.
Kiprah Mbah Liem di NU dan untuk
NKRI belum banyak orang yang tahu apalagi mendokumentasikannya, hanya
setelah beliau wafat sudah mulai ada yang menulis artikel atau
cerita-cerita mengenai Mbah Liem di web/blog dan di medsos. Mbah Liem
dikenal sangat dekat dengan Gus Dur bahkan jauh sebelum Gus Dur menjadi
presiden kedua kiai ini sudah saling akrab.
Banyak
orang mengatakan bahwa Mbah Liem adalah Guru spiritualnya Gus Dur.
Dalam struktur NU baik mulai tingkat bawah hingga pengurus besar nama
Mbah Lim tidak pernah tercatat sebagai pengurus namun kiprahnya dalam
menjaga dan membesarkan NU tidak absen sedikitpun. Mbah Liem walaupun
tidak pernah menjadi pengurus NU namun selalu mejadi rujukan para kiai
dalam menahkodai NU, bahkan Mbah Liem hampir pasti selalu hadir dalam
setiap acara-acara PBNU mulai dari Konbes, Munas hingga Muktamar NU.
Setelah
berkelana nyantri ke berbagai pondok pesantren terutama nyantri pada
kiai Shirot Solo, Mbah Liem akhirnya hijrah ke Klaten tinggal di dusun
Sumberejo Desa Troso Kecamatan Karanganom lalu mendirikan Pondok
Pesantren Al-Muttaqien Pancasila Sakti. Nama pesantrren tergolong unik
dan sudah pasti merupakan bukti konsistensi Mbah Liem dalam mencintai
dan menjaga NKRI dan Pancasila.
Pada kurun
tahun 1983 kelompok Islam radikal atau bisa disebut islam transnasional
mulai mempersoalkan lagi Pancasila sebagai dasar negara dan
mempertanyakan lagi relevansi Pancasila dengan Islam. Gagasan kelompok
radikal yang mulai menyoal lagi Pancasila dipandang oleh para kiai NU
sangat membahayakan keutuhan NKRI dan Pancasila maka NU segera menyikapi
dengan mengadakan Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Sukorejo,
Situbondo Jawa Timur dengan hasil sebagai berikut:
1.
Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah
agama, tidak dapat menggantikan Agama dan tidak dapat dipergunakan
untuk menggantikan kedudukan Agama.
2. Sila
ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut
pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila sila yang
lain, mencerminkan tauhid menurutpengertian keimanan dalam Islam.
3.
Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah akidah dan syariat, meliputi aspek
hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia.
4. Penermaan dan pengalaman pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat ilsam Indonesia untuk menjalankan syariat agamannya.
5.
Sebagai konsekuensi dari sikap di atas Nahdlatul Ulama berkewajiban
mengamankan pegertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya
yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.
Semenjak
Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia mulai
dipersoalkan oleh kelompok radikal maka para kiai terutama Mbah Liem
dalam setiap acara apapun terus mengatakan dan mendoakan agar NKRI
Pancasila Aman Makmur Damai HARGA MATI.
Mbah Liem kalau berpidato selalu judul utamanya adalah tentang kebangsaan dan kenegaraan, kurang lebih kalimatnya “mugo-mugo NKRI Pancasila Aman Makmur Damai Harga Mati” (Semoga NKRI Pancasila Aman Makmur Damai Harga Mati).
Di
masjid Pondoknya Mbah Liem setiap setelah iqomat sebelum sholat
berjama’ah selalu diwajibkan membaca do’a untuk umat islam, bangsa dan
negara Indonesia, berikut Doanya:
Subhanaka Allahumma wabihamdika tabaroka ismuka wa ta’ala jadduka laa ilaha Ghoiruka.
“Duh
Gusti Alloh Pangeran kulo, kulo sedoyo mbenjang akhir dewoso dadosno
lare ingkang sholeh, maslahah, manfaat dunyo akherat bekti wong tuo,
agomo, bongso maedahe tonggo biso nggowo becik ing deso, soho NEGORO
KESATUAN REPUBLIK INDONESIA PANCASILA KAPARINGAN AMAN, MAKMUR, DAMAI.
Poro pengacau agomo lan poro koruptor kaparingono sadar-sadar, Sumberejo
wangi berkah ma’muman Mekah.”
Menurut
kesaksian Habib Luthfi bin Yahya dalam buku Fragmen Sejarah NU karya
Abdul Mun’im DZ mengatakan, pada saat Panglima TNI Jenderal Benny
Moerdani datang ke Pesantren Al-Muttaqien Pancasila Sakti Klaten, Mbah
Liem meneriakkan yel, NKRI Harga Mati...! NKRI Harga Mati...! NKRI Harga
Mati...! Pancasila Jaya, maka sejak itulah yel-yel NKRI Harga Mati
menjadi jargon, slogan tidak hanya di NU tapi di beberapa pihak seperti
di TNI. Jadi slogan atau jargon “NKRI Harga Mati, Pancasila Jaya”
dicetuskan oleh KH Muslim Rifai Imampuro atau Mbah Liem.
Ali Mahbub, Wakil Ketua PW GP Ansor Jawa Tengah.
http://www.nu.or.id/post/read/77921/mbah-liem-pencetus-nkri-harga-mati-pancasila-jaya